Misteri Melempemnya Para Juara Dunia di Copa America 2011

Turnamen sepak bola tertua antarnegara, Copa America, tahun ini diadakan di Argentina. Sejak dihelat pertama kali tahun 1916, Copa America selalu menarik perhatian para bolamania. Gaungnya pun lebih ramai daripada ajang sepak bola di benua-benua lain, seperti Asian Cup atau Gold Cup yang baru saja selesai dua pekan yang lalu. Praktis, turnamen sepak bola antarnegara Amerika Selatan ini hanya kalah heboh oleh Euro-nya UEFA dan FIFA World Cup yang diadakan setiap empat tahun sekali.

Setelah kali terakhir diadakan di Venezuela tahun 2007, edisi Copa America kali ini diperkirakan jauh lebih ramai dan heboh. Itu tidak lain karena tampilnya bintang utama sepak bola dunia sekaligus peraih award FIFA World Player of the Year, Lionel Messi. Apalagi, kali ini Argentina menjadi tuan rumah. Tentu fans Albiceleste akan sangat antusias menyambut para pemain idolanya.

Tapi apa yang terjadi? Harapan itu sekarang tinggal harapan. Semangat fans Tango mendukung tim pujaannya mulai luntur. Mereka frustrasi setelah melihat dua kali penampilan skuad Albiceleste yang jeblok di babak fase grup. Pada opening match melawan Bolivia di Estadio Ciudad de La Plata, Lionel Messi dkk ternyata tampil loyo dan hampir saja kalah seandainya Kun Aguero tidak mencetak gol balasan yang spektakuler di babak kedua.

Tidak cukup sampai di laga pertama saja, ternyata penampilan melempem pasukan Tango berlanjut di game kedua penyisihan Grup A melawan Colombia. Memulai pertandingan dengan semangat harus menang untuk menebus kegagalan di laga pertama, tim Argentina yang diperkuat para pemain top dunia tidak mampu menjebol gawang lawannya. Alhasil, dua laga awal di Copa America 2011 harus dilalui dengan hasil yang bisa dibilang buruk, mengingat statusnya sebagai tuan rumah dan unggulan utama, yaitu gagal menang alias seri.

Yang lebih mengejutkan, ternyata melempemnya Argentina juga diikuti oleh musuh bebuyutannya, Brazil, dan semifinalis World Cup 2010, Uruguay. Dua juara dunia asal Amerika Latin tersebut dua kali main, dua kali imbang. Saat ini ketiganya pun terancam tidak bisa lolos ke babak perempatfinal Copa America 2011.

Nah, kira-kira apa yang menjadi penyebab loyonya penampilan tiga raksasa sepak bola Amerika Selatan itu? Selain makin meratanya kekuatan tim-tim sepak bola di Amerika Latin dan faktor keletihan para pemain dari liga-liga Eropa, ada beberapa faktor khusus yang menjadi penyebab. Saya akan mencoba mengupasnya satu-persatu.

Saya akan mulai dari sebuah tim yang berasal dari negara kecil tapi mampu menjadi juara dunia dua kali di masa lalu, Uruguay.  Banyak orang heran, kenapa penampilan pasukan Uruguay kali ini berbeda bila dibandingkan saat mereka tampil di World Cup 2010. Tahun lalu, performa Uruguay terbantu oleh dahsyatnya Diego Forlan. Tak heran, Forlan akhirnya dinobatkan sebagai Best Player di World Cup 2010. Tapi tahun ini, penampilan Forlan merosot jauh. Setelah hanya menjadi cadangan selama setahun di klubnya, Atletico Madrid, tampaknya Forlan kesulitan untuk kembali top form-nya. Dua kali tampil di Copa America 2011, tidak ada lagi aksi-aksi magis ala Forlan seperti yang dia tunjukkan di Afrika Selatan.

Penyebab lain adalah tidak dipasangnya Edinson Cavani, yang musim lalu tampil ganas sebagai mesin gol Napoli, di posisi penyerang tengah. Di starting line-up Uruguay, Oscar  Washington Tabarez lebih memilih Luis Suarez sebagai target-man. Sedangkan Cavani hanya dipasang sebagai penyerang sayap bersama Forlan. Keganasan Cavani pun menurun drastis. Suarez sebagai ujung tombak juga tidak mendapatkan bola-bola matang karena penampilan Forlan juga melempem sehingga tidak mampu melayaninya dengan baik. Kurang lebih, itulah penyebab anjloknya penampilan juara Copa America 14 kali tersebut.

Sekarang giliran Brazil. Setelah tampil mengecewakan di World Cup 2010, pelatih Dunga langsung dipecat. Mano Menezes pun diangkat sebagai penggantinya dan dibebani target untuk mengembalikan kejayaaan sang juara dunia lima kali.

Saat pertama kali diperkenalkan sebagai pelatih baru tim Samba, Menezes langsung berjanji untuk membawa Brazil kembali ke tabiat aslinya, yaitu memainkan sepak bola indah alias jogo bonito seperti jaman Pele dulu. Tapi, setelah menonton dua laga awal yang dilalui Brazil di Copa America, ternyata jogo bonito masih jauh dari harapan. Bukannya sepak bola indah, Neymar dkk malah memainkan sepak bola amburadul ala tim junior yang baru belajar bermain bola.

Dua kali hasil seri dipetik, yaitu 0-0 lawan Venezuela, dan semalam 2-2 lawan Paraguay (setelah sebelumnya tertinggal 1-2 sampai Fred mencetak gol balasan di detik-detik terakhir injury time babak kedua). Jelas, ini bukan tim Brazil seperti yang biasa kita lihat beberapa tahun yang lalu.

Minimnya pengalaman para pemain muda yang dipilih oleh Menezes dianggap oleh sebagian besar pengamat sebagai salah satu penyebab kacaunya performa Brazil kali ini. Saya setuju. Neymar, Ganso, dan Pato mungkin sukses di level klub musim lalu bersama Santos dan Milan. Tapi, pengalaman mereka di tim nasional senior sangat minim. Dari sebelas pemain inti yang dipilih Menezes, hanya kiper Julio Cesar, kapten Lucio, gelandang Ramires, dan Robinho yang tahun lalu tampil reguler di World Cup. Sisanya hanya cadangan, seperti Dani Alves, dan pemain junior, semacam Paulo Henrique Ganso.

Apa mau dikata. Memang hanya pemain-pemain muda minim jam terbang di level internasional itulah yang saat ini dimiliki oleh Menezes. Setahun terakhir, pemain-pemain senior Brazil banyak yang memble di liga-liga Eropa. Yang paling moncer hanya bek kanan Dani Alves yang sukses bersama Barcelona. Sisanya, nama-nama besar seperti Kaka, Diego, dan Ronaldinho mengalami masa-masa suram. Padahal, saat ini tim Brazil membutuhkan pemain-pemain kreatif seperti mereka bertiga untuk melayani Robinho-Pato-Neymar di lini depan. Ganso terbukti belum cukup matang untuk menjadi konduktor permainan tim Samba. Itulah beberapa faktor yang menjadi penyebab merosotnya tim dari negara tuan rumah FIFA World Cup 2014 tersebut.

Yang terakhir, tuan rumah sekaligus unggulan utama Copa America 2011, Argentina. Bukan salah Lionel Messi. Ya, penampilan buruk tim Tango di dua laga awal kemarin tidak bisa ditimpakan kepada seorang Messi. Tidak tepat membandingkan penampilan Messi di Barcelona dengan di tim nasional Argentina. Di Barcelona, Messi dilayani dengan baik oleh Xavi dan Andres Iniesta. Di Argentina? Messi kerap kali harus turun jauh ke lapangan tengah untuk mencari bola sendiri. Tidak ada yang melayaninya. Jadi, jangan salahkan Messi, tapi salahkan strategi pelatihnya.

Ya, kalau ada orang yang paling bertanggung jawab atas mengenaskannya penampilan Argentina kali ini adalah Sergio Batista. Pelatih pengganti Diego Maradona tersebut tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemain-pemain asuhannya gagal menampilkan permainan tiki-taka ala Barcelona. Komposisi pemain yang diturunkan pun cenderung berlawanan dengan strateginya.

Sejak awal, Batista selalu ingin bermain agresif seperti Barcelona. Tapi, dia malah memainkan tiga gelandang bertahan sekaligus (Banega-Mascherano-Cambiasso). Tentu saja taktiknya tidak akan berjalan dengan sempurna. Ever Banega dan Esteban Cambiasso tidak bisa berperan sebagai “Xavi dan Iniesta”-nya Argentina. Mereka berdua terlalu defensif dan tidak kreatif.

Jika Sergio Batista ingin bermain ala Barcelona, tidak ada opsi lain bagi dia kecuali memasang Javier Pastore di lini tengah. Pastore adalah satu-satunya pemain yang saat ini bisa berperan sebagai playmaker di tim Argentina. Pastore adalah pelayan yang pas bagi Messi. Pastore adalah penyuplai bola yang selama ini dibutuhkan oleh Messi, setelah semakin tuanya Roman Riquelme dan Juan Veron.

Memang, Pastore bukan tukang sulap yang pasti mampu mengubah keadaan timnya jika dimainkan. Tapi, setidaknya dengan adanya dia di lapangan, beban Messi menjadi lebih ringan dan bisa mulai fokus mencetak gol, bukan malah sibuk mencari bola sendirian.

Sekarang, nasib tuan rumah ada di tangan Batista. Penampilan Argentina sebenarnya masih bisa membaik jika dia bisa menerapkan strategi dan memilih pemain yang tepat. Secara materi pemain, tim Argentina tidak diragukan lagi adalah yang terbaik di Copa America kali ini. Tinggal dibutuhkan pelatih yang handal untuk meramunya. Itulah beberapa hal yang menyebabkan tim Albiceleste tampil tidak sesuai harapan dan terancam gagal memenuhi ambisinya menjadi juara Copa America 15 kali.

Meski demikian, peluang belum habis. Masih ada pertandingan terakhir di grup masing-masing. Argentina, Brazil, dan Uruguay masih bisa lolos ke perempatfinal jika mampu menaklukkan Costa Rica, Ecuador, dan Mexico. Akan sangat mengenaskan jika di Copa America kali ini para juara dunia tersebut harus tersingkir lebih awal. Semoga tidak terjadi.

Melempemnya Messi.
Misteri Melempemnya Para Juara Dunia di Copa America 2011

One thought on “Misteri Melempemnya Para Juara Dunia di Copa America 2011

Leave a comment