Ulasan Film: Bumi Manusia (2019)

Saat muncul kabar novel Bumi Manusia bakal difilmkan, langsung timbul pro dan kontra di tengah masyarakat penikmat sastra. Selain ada yang antusias menyambutnya, juga ada yang cemas menunggunya. Terutama, orang-orang yang begitu mencintai mahakarya Pramoedya Ananta Toer tersebut.

Para pemuja Pramoedya Ananta Toer banyak yang takut, rencana untuk memfilmkan Bumi Manusia, oleh Hanung Bramantyo, hanya akan menodai keagungan bukunya. Apalagi, ketika Falcon Pictures, selaku produser, mengumumkan pemeran tokoh utama dalam novel tersebut: Minke. Yang, akhirnya, jatuh ke tangan Iqbaal Ramadhan. Yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pemeran bocah badung, tapi jago gombal. Yang bernama Dilan itu.

Dulu, pada era Orde Baru, saat Soeharto masih berkuasa, membaca novel Bumi Manusia, dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya, memang tidak mudah. Harus dibaca secara sembunyi-sembunyi. Jika ketahuan, bisa diciduk oleh aparat. Berbanding terbalik dengan zaman now. Kita bisa dengan bebas mengeksplorasi Bumi Manusia. Bahkan, bisa mengadaptasinya ke dalam bentuk lain. Yaitu: Film. Yang melampaui impian terliar para pemuja Pram pada zaman dulu.

Adalah Hanung Bramantyo yang berani mewujudkan Bumi Manusia menjadi sebuah film. Tak peduli dengan tanggapan masyarakat, sutradara film Kartini (2017) tersebut tetap melanjutkan proyek film berdurasi tiga jam ini. Hingga, akhirnya, tayang di bioskop-bioskop tanah air pada bulan Agustus yang lalu.

Dari segi cerita, tidak seperti versi novel original-nya, yang jauh lebih kompleks, film Bumi Manusia ini lebih fokus menyoroti kisah cinta Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Annelies (Mawar de Jongh). Dengan segala dinamikanya. Yang berpotensi bikin baper itu.

Cerita film Bumi Manusia yang ber-setting pada era 1890-1904 ini dimulai ketika Minke, seorang abege Jawa totok dan anak Bupati Bodjonegoro, diajak jalan-jalan naik kereta kuda oleh teman sekolahnya di HBS: Robert Suurhof (Jerome Kurniawan). Yang dikisahkan sebagai keturunan Indo-Belanda. Mereka kemudian menuju ke Boerderij Buitenzorg. Di daerah Wonokromo, Surabaya.

Boerderij Buitenzorg merupakan rumah besar milik seorang juragan Belanda kaya raya: Mellema. Yang dikisahkan memiliki dua anak blasteran Indo-Belanda: Robert (Giorgino Abraham) dan Annelies. Mereka dilahirkan oleh gundik Mellema: Seorang perempuan Jawa tulen. Yang bernama Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). Yang penuh pesona itu.

Saat bertamu di rumah besar keluarga Mellema itulah, untuk pertama kalinya, dikisahkan, Minke bertemu dan berkenalan dengan Annelies. Yang menggemaskan, imut, dan manis. Yang kemudian berujung pada merekahnya benih-benih cinta mereka yang sangat romantis itu.

Namun, meski sekilas terlihat romantis, kisah cinta Minke dan Annelies dalam Bumi Manusia, sejatinya, bukanlah kisah cinta yang mulus, melainkan kisah cinta dua sejoli yang melawan arus. Yang dikisahkan terjadi pada masa perseteruan kaum pribumi dan pemerintah kolonial Belanda.

Latar belakang Minke dan Annelies, yang sangat berbeda, menjadi pemicu beragam konflik. Film Bumi Manusia ini menunjukkan proses perjalanan dua remaja tersebut dalam memperjuangkan cinta mereka. Yang berbeda suku, agama, ras, dan bangsa itu.

Kisah perjuangan cinta Minke dan Annelies itulah yang sukses membuat penonton untuk terus mengikuti Bumi Manusia. Yang, hingga kini, sudah disaksikan oleh lebih dari sejuta orang itu. Padahal, dengan durasi yang sangat lama, film ini berpotensi bikin orang ngantuk.

Bumi Manusia memang cukup berhasil dalam menjaga perhatian penonton agar tidak bosan. Karena diselingi oleh adegan-adegan ringan ala komedi romantis. Sutradara Hanung Bramantyo mampu merajut scene demi scene dengan baik. Durasi tiga jam pun menjadi tidak terasa. Karena setiap adegan dalam film ini bak roller coaster.

Selain itu, visualisasi Bumi Manusia juga cukup tajam. Hanung Bramantyo sukses mewujudkan dramatisasi kisah asmara Minke dan Annelies ke dalam bentuk visual yang keren dan penuh gereget. Sinematografi memang menjadi salah satu sisi positif film ini. Pergerakan kamera, framing, dan hal-hal teknis lainnya mampu menghasilkan gambar yang cemerlang. Yang memanjakan mata penonton film ini.

Saat diwawancarai pada bulan Agustus yang lalu, Hanung Bramantyo mengakui, menghidupkan suasana pada awal abad ke-20, ketika cerita Bumi Manusia terjadi, adalah tantangan terbesarnya. Namun, meski demikian, penggambaran kondisi masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda tersebut mampu ia hidupkan dengan kuat. Bisa dibilang, Hanung cukup sukses menyuguhkan kehidupan masa lalu dalam film ini.

Hal itu, sebenarnya, tak bisa dilepaskan dari pengalaman Hanung Bramantyo. Yang sudah terbiasa membuat film bertema sejarah. Salah satunya adalah Sang Pencerah (2010). Suami Zaskia Adya Mecca tersebut mengaku sudah melakukan riset sejak lama. Tepatnya, sejak ia menggarap film yang berlatar era 1820-1912 tersebut.

Proses syuting Bumi Manusia sendiri memakan waktu sekitar dua bulan. Pengambilan gambarnya dilakukan di dua tempat yang berbeda. Yaitu, di Semarang dan Jogjakarta.

Karena proses syuting Bumi Manusia tidak mungkin dilakukan di lokasi asli, Hanung Bramantyo pun terpaksa membangun sebuah kota tiruan sebagai set syuting. Misalnya, kawasan Wonokromo. Lokasi aslinya sekarang sudah sangat padat, sedangkan zaman dulu masih berupa ladang yang sangat luas. Hanung pun menghadirkan tiruan Kota Surabaya jadul. Di atas lahan seluas 2,5 hektare. Yang dulu sempat ia gunakan untuk menggarap film Sultan Agung. Yang dirilis pada 2018 itu.

Untuk membangun lokasi syuting tiruan, setidaknya, membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Namun, karena tidak memiliki waktu sebanyak itu, Hanung Bramantyo pun mengakalinya. Yaitu, dengan membuat beberapa sudut semaksimal-maksimalnya. Misalnya, sudut belakang daerah Wonokromo jadul. Yang ia permak dengan teknik animasi. Alhasil, syutingnya pun lebih close-up. Karena pengambilan gambarnya tidak bisa lebar.

Tantangan berat lainnya dalam proses syuting Bumi Manusia adalah membuat desain set yang mampu menghidupkan suasana kolonial seperti dalam novelnya. Detail-detail kecil, semacam alat transportasi, budaya, nama lokasi, serta diksi, harus benar-benar diperhatikan untuk menunjang jalan cerita.

Secara keseluruhan, bisa dibilang, Hanung Bramantyo cukup berhasil dalam menghidupkan suasana masa kolonial, dengan menampilkan hal-hal yang identik dari masa tersebut, dalam film Bumi Manusia ini. Namun, meski demikian, tetap saja, ada beberapa kelalaian teknis yang cukup mengganjal. Misalnya, beberapa papan nama tempat yang warna dan kondisinya terlihat masih baru.

Selain itu, juga ada beberapa adegan dalam film Bumi Manusia ini yang kurang penjelasan. Alias tidak selengkap cerita dalam versi novelnya. Yang sepanjang 500 halaman itu. Misalnya, saat scene Minke di Stasiun Bodjonegoro.

Hal lain yang juga menarik, berlatar cerita pada masa kolonial, dan bertempat di Jawa Timur, Bumi Manusia menggunakan campuran tiga bahasa dalam setiap dialognya. Yaitu: Bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. Bahkan. bahasa Belanda cukup banyak porsinya. Oleh karena itu, Hanung Bramantyo sampai melibatkan sekitar 60 persen orang asli Belanda sebagai pemain film ini.

Selain bahasa Belanda, bahasa Jawa dalam Bumi Manusia juga cukup dominan. Sesuai dengan latar tempatnya. Yang mengambil daerah Wonokromo, Surabaya, itu. Baik tokoh-tokoh pribumi maupun orang-orang Belanda dalam film ini sering mengucapkannya.

Dan, hasilnya, meski secara keseluruhan cukup baik, pada pengucapan beberapa kata bahasa Jawa dalam film Bumi Manusia ini, masih ada yang terasa janggal. Atau aneh pengucapannya. Akan tetapi, meski demikian, semuanya masih bisa dipahami. Karena memang sulit mengucapkan kata-kata yang tidak menjadi bahasa kita sehari-hari.

Yang menarik, pelafalan bahasa Jawa tadi berbeda halnya dengan bahasa Belanda. Para aktor dalam film Bumi Manusia ini, khususnya Iqbaal Ramadhan, terdengar begitu lihai ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing tersebut.

Penampilan Iqbaal Ramadhan sendiri memang cukup apik dalam film Bumi Manusia ini. Meski belum bisa sepenuhnya menghapus kesan culun, ia terbilang mampu membawakan karakter Minke. Yang dikisahkan masih sangat muda, tapi keras, cerdas, dan berwibawa itu.

Bagi Iqbaal Ramadhan, Bumi Manusia adalah pembuktian atas kritik yang ditujukan kepadanya saat dipilih sebagai Minke. Dalam film ini, bintang iklan Ruang Guru tersebut menunjukkan kelasnya sebagai aktor profesional. Yang mampu memberikan jiwa bagi karakter yang ia perankan.

Menurut Iqbaal Ramadhan, memerankan Minke dalam Bumi Manusia adalah tanggung jawab yang sangat besar. Setiap hari, mulai dari hari pertama ia terpilih, lalu dilanjutkan tiga bulan workshop, dua bulan syuting, hingga total dua tahun masa produksi, rasanya tak terlupakan.

Akting apik Iqbaal Ramadhan dalam film Bumi Manusia ini mendapat pengakuan dari Hanung Bramantyo. Padahal, awalnya, ia tidak setuju jika mantan anggota Coboy Junior tersebut yang menjadi Minke. Bahkan, Hanung mengakui, begitu nama Iqbaal muncul sebagai kandidat, ia adalah orang pertama yang menolaknya.

Namun, meski demikian, tembok pertahanan Hanung Bramantyo, perlahan, mulai jebol ketika ia menonton akting Iqbaal Ramadhan dalam film Dilan 1990 (2018). Menurut sutradara Ayat-Ayat Cinta (2008) tersebut, Iqbaal sangat piawai dalam menyampaikan dialog yang tidak terkesan murahan.

Selain itu, saat bertatap muka langsung dengan Hanung Bramantyo, Iqbaal Ramadhan juga mengaku pernah meresensi novel Bumi Manusia dalam bahasa Inggris. Sebagai tugas sekolahnya di Amerika dulu. Hanung pun semakin yakin dengan aktor abege tersebut.

Jadi, dulu, waktu sekolah di Amerika, Iqbaal Ramadhan pernah diberi tugas oleh gurunya untuk membikin resensi novel sastra. Iqbaal pun memilih sastra Indonesia. Dan, di antara sekian banyak karya sastra dari tanah air, ia kemudian memilih Bumi Manusia. Saat ditanya kenapa, Iqbaal menjawab tidak tahu. Catchy aja, menurutnya.

Menurut Hanung Bramantyo, pengalaman sekolah di Amerika tadi membuat Iqbaal Ramadhan memahami apa yang dirasakan oleh Minke. Sebab, di sana, ia juga menjadi minoritas. Seperti Minke. Yang menjadi minoritas. Saat bersekolah bersama anak-anak keturunan Belanda.

Selain itu, usia Iqbaal Ramadhan dan karakter Minke dalam Bumi Manusia pun sama: 19 tahun. Dan mereka juga sama-sama cerdas. Jadi, tidak ada alasan lagi buat Hanung Bramantyo untuk tidak memilihnya.

Kisah behind-the-scene menarik lainnya dalam Bumi Manusia juga datang dari Mawar de Jongh. Demi sebuah tontonan yang berkualitas, ada pengalaman spesial yang harus dialami oleh pemeran Annelies tersebut. Yaitu, didorong oleh Hanung Bramantyo hingga tersungkur!

Jadi, ceritanya, saat melakukan syuting Bumi Manusia, Hanung Bramantyo melihat akting Mawar de Jongh masih kurang natural. Dia melakoni adegan menangis, tapi terkesan dibuat-buat. Menurut ayah empat anak tersebut, Mawar belum sepenuhnya menjadi Annelies. Visualnya pun menjadi jelek.

Hanung Bramantyo kemudian mencari cara agar Mawar de Jongh dapat mengeluarkan emosinya. Dan menangis secara alamiah. Awalnya, ia meminta cewek caem tersebut untuk mendorongnya. Namun, meski demikian, Mawar tidak segera melakukannya. Tidak mau menunggu lama, Hanung sendiri yang kemudian mendorong tubuh Mawar. Sekuat-kuatnya. Hingga aktris abege kelahiran Medan tersebut jatuh tersungkur. Mawar pun, akhirnya, menjadi emosional. Dan menangis tersedu-sedu.

Hanung Bramantyo mengungkap, bukan hanya Mawar de Jongh, aktris yang pernah mendapat special treatment darinya. Selain Mawar, Rianti Cartwright juga pernah memperoleh pelajaran khusus. Tepatnya, saat bermain dalam film Ayat-Ayat Cinta dulu. Kala itu, Hanung sampai mengikat Rianti dengan tali yang kencang. Untuk mendapatkan efek menangis dalam visual filmnya.

Selain Iqbaal Ramadhan dan Mawar de Jongh, penampilan luar biasa juga ditunjukkan oleh Sha Ine Febriyanti. Yang berperan sebagai seorang tokoh yang memegang kendali cerita dalam Bumi Manusia: Nyai Ontosoroh. Yang perannya tak kalah penting daripada Minke dan Annelies itu.

Ine Febriyanti, yang merupakan aktris idola generasi ’90-an itu, berhasil menampilkan karakter Nyai Ontosoroh. Yang bijaksana dan berpendirian teguh itu. Dari tatapan matanya saja, kita bisa merasakan wataknya yang kuat. Akting Ine mampu mengajak penonton Bumi Manusia untuk bersimpati pada nasib yang menimpa sang Nyai.

Saat keangkuhan hukum kolonial berusaha mengacaukan hubungan Minke dan Annelies, Nyai Ontosoroh dikisahkan tampil sebagai pembela. Dia tak pernah lelah untuk membakar semangat Minke. Agar terus berjuang sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. Dan terus melawan ketidakadilan yang ada. Karena, dengan melawan, kita takkan sepenuhnya kalah.

Selain penampilan para pemainnya, hal yang juga patut diapresiasi dalam film Bumi Manusia ini adalah scoring-nya. Banyak adegan yang feel-nya semakin mengena karena adanya sentuhan musik yang ditata sedemikian rupa. Yang terdengar begitu mewah dan megah di telinga.

Pada akhirnya, secara keseluruhan, film Bumi Manusia ini merupakan salah satu karya yang patut diapresiasi. Dan dirayakan. Sebagai salah satu tonggak sejarah yang membanggakan dalam perfilman nasional.

Sementara itu, mengenai ending kisah Bumi Manusia, yang memilukan, anggap saja hal itu sebagai bunga-bunga kehidupan. Yang memang tak semuanya harus berakhir bahagia. Seperti pesan perpisahan Annelies kepada Minke: “Mas, kita pernah berbahagia bersama, kenang itu saja. Jangan yang lain.” *meleleh*

***

Bumi Manusia

Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Frederica
Penulis Skenario: Salman Aristo
Berdasarkan: Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer
Pemain: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, Donny Damara, Bryan Domani, Giorgino Abraham, Jerome Kurniawan
Musik: Andhika Triyadi
Sinematografi: Rahmat Syaiful
Penyunting: Reynaldi Christanto, Sentot Sahid
Produksi: Falcon Pictures
Distributor: Falcon Pictures
Durasi: 181 menit
Genre: Drama, History
Kategori Usia: R (17+)
Budget: IDR 30 miliar
Rilis: 9 Agustus 2019 (Surabaya), 15 Agustus 2019 (Indonesia)

Rating (hingga 13 September 2019)
IMDb: 7,3/10

***

Edwin Dianto
Pekerja Teks Komersial, Baper Blogger & Writer
E-mail: edwindianto@gmail.com
Blog: edwindianto.wordpress.com
Follow Twitter & Instagram @edwindianto & @filmaniaindo untuk info film-film terbaru.

Ulasan Film: Bumi Manusia (2019)

Leave a comment