Preview Film: Kartini (2017)

Untuk memperingati Hari Kartini, yang jatuh setiap tanggal 21 April, film Kartini mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada hari Rabu (19/4) yang lalu. Film ini menampilkan kisah nyata dari sang pahlawan emansipasi wanita tersebut. Film biopik yang dibesut oleh sutradara ternama Hanung Bramantyo ini merupakan film ketiga tentang Kartini. Tepatnya, setelah R.A. Kartini (1984) dan Surat Cinta Untuk Kartini (2016).

Proyek film yang diproduksi oleh Legacy Pictures ini, sebenarnya, sudah dimulai sejak tahun 2014 yang lalu. Kala itu, Hanung Bramantyo bertemu sang produser: Robert Ronny. Ia kemudian mengutarakan niatnya untuk membuat film biografi Kartini. Yang tidak hanya mengisahkan perjuangan beliau dalam mengangkat derajat kaumnya, tapi juga mengungkap hal-hal yang selama ini jarang diketahui khalayak umum.

Hanung Bramantyo paham, bahwa Kartini merupakan sosok yang legendaris di Indonesia, tetapi juga kontroversial pada masanya. Pemikiran putri bupati dari Jepara tersebut sangat revolusioner. Jauh melampaui zamannya. Dia tidak hanya menuntut persamaan hak antara wanita dengan pria, tapi juga ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Oleh karena itu, Hanung Bramantyo pun memutuskan untuk memberi nilai plus pada kisah dan karakter Kartini. Film yang naskahnya ia tulis bersama Bagus Bramanti ini bukanlah film biopik biasa, melainkan film yang mengekspos perjuangan Kartini pada masa mudanya. Yang sisi kepahlawanannya begitu kuat bagi kaum wanita.

Sebelum dinikahi oleh Bupati Rembang R.M. Adipati Joyodiningrat (Dwi Sasono) pada usia 24 tahun, Kartini (Dian Sastrowardoyo) memang sangat gencar memperjuangkan kesetaraan gender. Dia melawan tradisi dan budaya patriarki. Yang, kala itu, dikuasai oleh laki-laki.

Masa perjuangan Kartini, yang meninggal pada usia muda (25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya itu, terjadi saat dia berusia 18 hingga 23 tahun. Bisa dibilang, perjuangannya untuk mengangkat derajat kaum wanita dimulai saat dia menjadi Raden Ayu.

Semula, Kartini tidak mau mengikuti ayahnya, Bupati Jepara R.M. Ario Sosroningrat (Deddy Soetomo), untuk hidup di lingkungan bangsawan. Yang sarat tradisi. Yang membatasi kebebasannya sebagai seorang perempuan. Selain itu, jika hidup sebagai ningrat, dia juga harus meninggalkan ibunya: M.A. Ngasirah (Nova Eliza/Christine Hakim). Yang hanya rakyat biasa itu.

Namun, pada akhirnya, Kartini bersedia menjadi Raden Ayu. Demi mendapatkan pendidikan yang layak. Kala itu, para perempuan yang boleh bersekolah hanyalah dari kaum bangsawan. Itu pun hanya sampai bangku sekolah dasar. Dengan menjadi Raden Ayu, akhirnya, Kartini bisa belajar membaca, menulis, berhitung, dan, bahkan, berbahasa Belanda dengan fasih. Berbagai kemampuan tersebut nyaris mustahil dia peroleh jika hanya menjadi rakyat jelata. Seperti Ngasirah, ibunya.

Proses untuk menjadi Raden Ayu itulah yang disorot secara mendalam oleh film Kartini ini. Menurut sang sutradara, Hanung Bramantyo, pergumulan batin Kartini saat hendak menjadi bangsawan memang jarang diketahui oleh publik. Karena memang tidak pernah ditulis dalam buku pelajaran sejarah. Yang dulu kita baca di sekolah. Padahal, keputusan Kartini untuk menjadi Raden Ayu, bisa dibilang, merupakan keputusan yang krusial dalam hidupnya. Karena menjadi awal dari gerakan emansipasi wanita. Yang dia perjuangkan sampai akhir hayatnya itu.

Hal lain yang juga jarang diketahui adalah upaya gigih Kartini dalam memberikan pendidikan untuk rakyat kecil. Selain itu, dia juga getol mengangkat perekonomian masyarakat di sekitarnya. Dalam suatu kesempatan, Kartini pernah mengajak para pengrajin ukiran asal Jepara untuk memamerkan hasil karya mereka di negeri Belanda.

Namun, perjuangan Kartini kemudian terancam tamat. Tepatnya, setelah dia dilamar oleh Bupati Rembang. Kartini sangat sedih. Karena dia harus menjalani masa “dipingit” sebelum menikah. Sesuai dengan tradisi Jawa. Hal itu membuat kebebasan Kartini terpasung. Dia tidak lagi bisa bertemu dan berdiskusi dengan koleganya. Para feminis dari Belanda. Seperti Wilhelmina. Yang dalam film ini diperankan oleh Rianti Cartwright.

Hanung Bramantyo pun berusaha menampilkan dengan gamblang kegalauan yang dialami oleh Kartini. Dalam film ini, pergumulan emosi Kartini, yang naik turun itu, memang digambarkan dengan jelas. Banyak adegan yang menampilkan ketika dia merasa sedih dan tidak terima. Namun, pada akhirnya, dia hanya bisa diam. Tanpa kata-kata.

Untuk menyajikan sosok Kartini yang apa adanya, Hanung Bramantyo melakulan riset hingga dua tahun lamanya. Dengan dibantu oleh komunitas Rumah Kartini, suami Zaskia Adya Mecca tersebut pergi ke Jepara. Untuk melihat rumah masa kecil Kartini, menelusuri perjalanan hidupnya, dan mengunjungi makamnya.

Di samping itu, sebagai bahan untuk menulis skenario, Hanung Bramantyo juga melahap berbagai macam literatur. Yang paling utama adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Yang merupakan kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Selain itu, juga ada Panggil Aku Kartini Saja. Karya Pramoedya Ananta Toer. Serta buku biografi Kartini. Yang ditulis oleh Elizabeth Keesing dan Joost Cote.

Proses syuting film Kartini sendiri berlangsung selama 45 hari. Di Jakarta, Jogjakarta, dan Belanda. Tim produksi sampai membangun set khusus di daerah Ceger, Jakarta Timur. Hanya untuk menampilkan pendapa dan rumah yang dulu ditinggali keluarga Kartini. Karena lokasi aslinya, yang ada di Jepara, saat ini, kondisinya sudah berbeda jauh jika dibandingkan dengan dulu. Selain itu, yang juga menarik, para kru sampai membuat sendiri kereta kuda yang digunakan untuk syuting.

Sementara itu, para pemain yang terlibat dalam film Kartini ini, sebelum syuting, diharuskan untuk belajar bahasa Jawa dan Belanda. Selain itu, mereka juga harus mempelajari logatnya. Supaya tidak kaku saat berbicara.

Khusus untuk para aktris, agar lebih menghayati peran, mereka diwajibkan memasang sanggul sendiri sebelum syuting. Dian Sastrowardoyo, yang menjadi bintang utama dari film Kartini ini, tak luput dari kewajiban tersebut. Bersama dengan Acha Septriasa, yang memerankan Roekmini, dan Ayushita Nugraha, yang memerankan Kardinah (keduanya adalah adik Kartini), Dian Sastro harus rela bersanggul. Dan berkebaya. Setiap menjalani syuting.

Yang menarik, semula, sutradara Hanung Bramantyo, sebenarnya, mengeplot Dian Sastro sebagai Ngasirah. Ibu Kartini. Namun, Distro kemudian meminta sendiri agar Hanung memilihnya sebagai pemeran Kartini. Meski sempat ragu, terutama karena perbedaan umur (Kartini dalam film berusia 18-23 tahun, sedangkan Dian Sastro sudah 35 tahun), akhirnya, Hanung Bramantyo memberikan peran tersebut. Kualitas akting dan jam terbang Dian, yang sudah tinggi itu, menjadi pertimbangan utamanya.

Selain Dian Sastro, film produksi Legacy Pictures ini juga diperkuat oleh berbagai aktor dan aktris papan atas tanah air. Yang berperan sebagai ayah, ibu, kakak, dan adik-adik Kartini. Sebut saja nama-nama seperti Deddy Soetomo, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Reza Rahadian, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, Acha Septriasa, dan Ayushita Nugraha.

Dalam hidup Kartini, keluarga memang sangat berperan. Ada yang mendukung perjuangannya. Seperti sang kakak: R.M. Panji Sosrokartono (Reza Rahadian). Yang bersekolah di Belanda. Yang membuat Kartini suka membaca dan berpikiran luas. Serta kedua adiknya: Kardinah (Ayushita), yang enggan menikah, dan Roekmini (Acha Septriasa), yang membantu Kartini mengupayakan pendidikan untuk kaum wanita dan rakyat jelata.

Namun, selain ada yang mendukung Kartini, juga ada anggota keluarga yang tidak sependapat dengannya. Seperti sang ayah: R.M. Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Soetomo). Yang meragukan pemikiran Kartini. Serta sang kakak tertua: R.M. Slamet Sosroningrat (Denny Sumargo). Yang memberikan tekanan keras. Yang, bahkan, dengan tegas melarang Kartini surat-suratan dengan teman-teman feminisnya dari Belanda.

Sementara itu, menurut Dian Sastro, peran sebagai Kartini merupakan peran tersulit sepanjang karirnya. Meski sudah berpengalaman membintangi berbagai judul film, Kartini merupakan film biografi perdananya. Yang sekaligus menjadi film bertema sejarah pertama bagi ibu dua anak yang masih terlihat sangat manis tersebut.

Untuk menghayati peran sebagai Kartini, Dian Sastro pun belajar budaya Jawa. Beserta bahasa dan logatnya. Begitu pula dengan bahasa tubuhnya. Yang anggun dan lemah gemulai. Ala kaum ningrat dan bangsawan.

Selain menonjolkan perjuangan Kartini, dalam film ini, Dian Sastro juga dituntut untuk mampu menampilkan kegalauan batinnya. Alhasil, sebelum syuting, bintang Ada Apa dengan Cinta? (2002) tersebut sering mendengarkan lagu-lagu klasik. Untuk memancing perasaannya. Agar lebih emosional dalam berakting.

Seperti halnya Hanung Bramantyo, Dian Sastro juga melakukan riset sebelum syuting. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan Panggil Aku Kartini Saja dia baca hingga habis. Selain itu, Dian Sastro juga cukup beruntung. Karena ada komunitas Rumah Kartini. Yang banyak membantunya dalam melakukan penelitian. Mereka sering menggelar diskusi dan dialog. Terutama, untuk mengupas jasa, karakter, serta pemikiran R.A. Kartini. Dian pun, akhirnya, memiliki wawasan dan pemahaman yang lebih kaya mengenai sosok pahlawan yang dikaguminya tersebut.

Menurut Dian Sastro, peran sebagai Kartini bukan sekadar akting biasa, melainkan sebuah tugas mulia. Dia mengaku harus bisa memerankannya dengan sempurna. Terutama, untuk menghargai jasa Kartini. Yang sangat besar itu. Untuk ukuran perempuan yang hidup pada abad ke-19, apa yang Kartini lakukan dulu memang sangat revolusioner. Bagi Dian Sastro, jasa Kartini harus dirayakan. Dan dihargai. Setiap hari. Bukan cuma setahun sekali.

Dan, akhirnya, upaya Dian Sastro untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sosok Kartini, tampaknya, cukup berhasil. Setelah tayang hampir seminggu, film biopik ini mendapat respon sangat positif dari para kritikus. Bahkan, disebut-sebut sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.

***

Kartini

Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Robert Ronny
Penulis Skenario: Hanung Bramantyo, Bagus Bramanti
Pemain: Dian Sastrowardoyo, Deddy Sutomo, Christine Hakim, Acha Septriasa, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Nova Eliza, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Dwi Sasono, Rianti Cartwright
Musik: Andi Rianto, Charlie Meliala
Sinematografi: Faozan Rizal
Penyunting: Wawan I. Wibowo
Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Films
Durasi: 122 menit
Rilis: 19 April 2017 (Indonesia)

Rating (hingga 24 April 2017)
IMDb: 8,1/10

***

Edwin Dianto
Pekerja Teks Komersial, Baper Blogger & Writer
E-mail: edwindianto@gmail.com
Blog: edwindianto.wordpress.com
Follow Twitter & Instagram @edwindianto & @filmaniaindo untuk info film-film terbaru.

Preview Film: Kartini (2017)

Leave a comment