Menjelang Fase Knockout Copa America Centenario 2016

Fase grup Copa America Centenario 2016 telah selasai. Hasilnya, terjadi dua kejutan. Yang pertama, pemegang rekor juara Amerika terbanyak (15 kali), Uruguay, gagal melaju ke 8 besar. Yang kedua, juara dunia terbanyak (5 kali), Brasil, juga harus mengepak koper lebih awal.

Di antara dua kejutan di atas, tersingkirnya Brasil adalah yang paling mengagetkan. Bagaimana tidak, meski sudah sembilan tahun puasa gelar Copa America, selama ini, tim Samba selalu berhasil lolos dari fase grup. Terakhir kali mereka gagal maju ke fase knockout pada tahun 1993.

Yang lebih menyakitkan, Brasil terdepak gara-gara gol Tangan Dewa Raul Ruidiaz. Dari tayangan ulang, terlihat, pemain Peru tersebut memang menggunakan tangannya untuk menjebol gawang Alisson di partai terakhir grup B. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Wasit terlanjur mengesahkan gol kontroversial tersebut. Tim Samba pun harus kalah dengan menyesakkan.

Terlepas dari pro-kontra gol Tangan Dewa, absennya Neymar disinyalir menjadi penyebab utama Brasil menuai malu. Striker Barcelona itu memang lebih memilih untuk terjun di Olimpiade Rio 2016 daripada Copa America Centenario ini.

Meski sempat pesta gol saat membantai Haiti dengan skor 7-1, ketiadaan Neymar jelas membuat serangan Brasil tumpul. Hulk dan Gabriel “Gabigol” Barbosa tak kuasa menjadi goal-getter pengganti. Alhasil, Seleccao pun hanya mampu bermain gimbang tanpa gol dengan Ekuador dan takluk 0-1 dari Peru. Pelatih Dunga-lah yang akhirnya menjadi pesakitan, dipecat dari timnas Brasil, untuk kali kedua senpanjang karirnya.

Selain Brasil, kegagalan Uruguay juga tidak diduga oleh banyak orang. Meski digelontor Meksiko dengan skor 1-3 di laga perdana grup C, Edinson Cavani dkk diperkirakan masih bisa lolos ke 8 besar. Eh, nyatanya, saat bertemu Venezuela di laga kedua, La Celeste kembali keok dengan skor 0-1.

Patut dicatat, saat ini, Uruguay adalah pemimpin sementara babak kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Conmebol dengan 13 poin. Bahkan, Argentina pun tertinggal dua angka dari mereka. Nyatanya, saat berlaga di Copa America edisi khusus ini, Diego Godin dkk malah terjun bebas.

Seperti Brasil yang kehilangan Neymar, absennya Luis Suarez juga dianggap sebagai biang keladi kurang “menggigitnya” penampilan Uruguay. Oscar Washington Tabarez memang sengaja menyimpan el Pistolero karena kondisinya belum fit 100 persen.

Rencananya, Suarez baru akan dimainkan pada babak perempat final. Eh, ternyata, belum sempat turun semenit pun, Uruguay sudah tersingkir duluan. Untungnya, meski sempat KZL karena digantung di bench, Suarez akhirnya bisa menerima keputusan pelatih gaek tersebut.

Tanpa dua raksasa di atas, praktis, kini hanya tersisa Argentina sebagai tim juara dunia di 8 besar. Lionel Messi dkk bakal dikeroyok oleh lima tim kuda hitam, yaitu: host Amerika Serikat, Raja Concacaf Meksiko, juara bertahan Cile, Kolombia, dan Ekuador. Serta dua tim kejutan: Venezuela dan Peru.

Melihat hasil drawing fase knockout, di atas kertas, Argentina bakal melaju ke partai puncak. Bagaimana tidak, di perempat final, Albiceleste “hanya” menghadapi Venezuela. Lalu, jika lolos ke semifinal, calon lawan mereka “cuma” Amerika Serikat atau Ekuador.

Oleh karena itu, asalkan tidak terlalu jumawa, tiket final sebenarnya sudah ada dalam genggaman Javier Mascherano dkk. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang paling berpeluang untuk menjadi lawan mereka di partai puncak, seiring dengan tersisihnya Brasil?

Jika melihat performa di fase grup, Meksiko layak menjadi kandidat utama sebagai lawan Argentina di final Copa America Centenario ini. Sejak dibesut oleh pelatih asal Kolombia, Juan Carlos Osorio, performa tim Sombrero memang menanjak. Sudah 22 laga mereka tidak tersentuh kekalahan.

Bahkan, sebelum ditahan seri 1-1 oleh Venezuela di partai pamungkas grup C, Meksiko mencatat sembilan kemenangan beruntun. Hasil imbang saat melawan La Vinotinto lebih disebabkan karena Osorio banyak memasang pemain cadangan. Bukan karena performa el Tri yang menurun.

Setelah berhasil memuncaki grup C, ujian selanjutnya yang harus dihadapi Meksiko adalah menghadapi Cile. Jika mampu menyisihkan tim juara bertahan Copa America tersebut, langkah Chicharito dkk bakal lebih ringan. Karena, di semifinal, mereka “hanya” akan bertemu Kolombia atau Peru.

Di atas kertas, level Kolombia dan Peru memang sedikit di bawah Cile. Kolombia terlalu bergantung pada James Rodriguez. Apalagi, Los Cafeteros ternyata gagal memuncaki grup A setelah di partai terakhir digasak Kosta Rika.

Sementara itu, penampilan Cile sejak ditinggal pelatih Jorge “Gunawan” Sampaoli memang tidak setrengginas dulu. Juan Antonio Pizzi masih berusaha keras mengembalikan performa Arturo Vidal dkk seperti tahun lalu. Kala menjadi juara di kandang sendiri.

Jika final ideal antara Argentina melawan Meksiko benar-benar terwujud, ambisi tim Tango untuk mengakhiri puasa gelar sejak tahun 1993 tetap tidak akan mudah. Angel Di Maria dkk memang lebih unggul dalam hal skill individu. Namun, tim Sombrero lebih kompak dan bakal mendapat semangat ekstra dari pemain ke-12. Yaitu: para supporter dan imigran yang memadati Amerika Serikat. Rumah kedua mereka.

Menjelang Fase Knockout Copa America Centenario 2016

Leave a comment